Padang, Sinyalgonews.com,— AKHIR 1960-an sampai awal 1970-an, dalam kehidupan generasi muda di kota-kota besar Indonesia, termasuk di Sumatera Barat, khususnya Bukittinggi dan Padang, muncul 2 (dua) trend:

1). Munculnya berbagai perguruan beladiri asing, terutama dari Jepang seperti karate dan judo.
2). Maraknya geng anak-anak muda yang perbuatannya sering destruktif seperti judi, minuman keras, dan perkelahian berkelompok.
Perkembangan itu menimbulkan kehawatiran atas dua hal pula;
1). Generasi muda berbondong-bondong mempelajari beladiri asing, serta melupakan pencak silat sebagai beladiri warisan leluhur bangsa sendiri.
2). Akan ada kelompok generasi muda yang bisa kehilangan arah, karena makin dalam terlibat dalam judi, minuman keras, dan perkelahian antargeng.
Saat bersekolah di STM (tahun 1964 – 1967) Makmur Hendrik melatih judo beberapa siswa STM. Judo beliau pelajari saat bersekolah di ST Negeri Pekanbaru. Saat itu judo baru masuk ke Indonesia.
Saat bersekolah di STM itu pula beliau belajar Silek Tuo dari Bp. Bustamam Sutan Makmur asal Lawang, Matur, Sumatera Barat. Beliau adalah ayah Syofyani Yushaf, koreografer tari terkenal Sumatera Barat.
Tahun 1970 Makmur Hendrik pindah kuliah ke Fakultas Keguruan Teknik IKIP Padang (kelak menjadi UNP). Saat itulah di kota Padang bermunculan belasan perguruan karate dan satu dua perguruan silat. Namun yang luar biasa peminatnya adalah karate seperti Inkai, Kyokusinkai, Gokasi, Black Panther, dan lain-lain. Sebagai seorang murid silat beliau merasa heran melihat anak muda berbondong-bondong masuk perguruan karate.
Di bumi Minang yang terkenal dengan puluhan aliran silatnya, anak-anak muda justru belajar beladiri asing. Silat dianggap sebagai beladiri kuno. Makmur Hendrik berpendapat, paling tidak ada empat sebab mengapa anak-anak muda lebih suka belajar bela diri asing ketimbang silat:
1.Metode dan sistem yang dipakai guru silat untuk mengajar anak sasiannya dianggap ‘kuno’. Karena serang bela (pukul, tendang, elak, tangkis, banting dan jatuh) dalam silat tidak diurai dan tidak terukur sebagaimana halnya karate dan judo, maka belajar silat tidak bisa secara massal, seperti karate atau judo. Dalam karate, 100 atau 1.000 orang murid bisa membentuk barisan, dan dengan sebuah komando mereka melakukan latihan menendang atau memukul atau menangkis. Dalam silat metode ini belum pernah ada.
2.Silat juga tidak memakai ‘makiwara’, semacam alat bantu untuk memperkuat pukulan dan tendangan dalam karate. Alat bantu itu bisa berupa papan yang sebagian ditanam dalam tanah, dan sebagian yang di atas tanah dilapisi dengan sabut atau tali jerami, untuk kemudian dipukul atau ditendang berkali-kali guna memperkuat pukulan dan tendangan. Alat bantu itu bisa juga dalam bentuk sansak, goni/karung yang diisi pasir atau serbuk lalu digantung, kemudian dipukul dan ditendang saat latihan. Di judo alat bantu ini bisa berupa karet ban sepeda yang diikatkan ke dinding lalu ditarik berkali-kali dalam berbagai posisi. Gunanya untuk menguatkan tarikan tangan dan mengukuhkan kuda-kuda.
3.Pakaian silat model galembong berwarna hitam dianggap anak-anak muda sudah ‘kuno’, tidak semodern pakaian karate atau judo yang seperti celana biasa dan berwarna putih-putih.
4.Silat tidak pernah memakai sistim sabuk (putih, kuning, hijau, biru, coklat, dan hitam) yang menandai ‘kelas’ sebagaimana karate dan judo. Sehingga anak sasian di silat merasa tak pernah ‘naik kelas’.
Dengan tujuan agar pencak silat tidak mati dan mendidik generasi muda yang berbudi, sekaligus untuk mencegah anak-anak muda tidak terlibat premanisme, maka pada tanggal 7 Juni 1971, dalam usia 24 tahun, Makmur Hendrik mendirikan Perguruan Silat PATBANBU. Perguruan yang mengajarkan penggabungan silat dan judo.
Berpedoman pada empat hal mengapa anak-anak muda ‘lari’ dari silat ke karate, beliau lalu memodifikasi pelajaran silat yang diajarkan di Patbanbu.
1.Sistem pukul dan tendang.
Karena dalam pencak silat tidak diajarkan metode yang bisa dipakai untuk berlatih secara massal, maka Makmur Hendrik mengadopsi pola karate yang mengurai sistim memukul dan menendang. Sehingga murid bisa berjejer sepuluh atau seratus orang, lalu melakukan gerak memukul atau menendang yang dikomandokan pelatih.
2.Pencak Silat.
Pencak silat yang diajarkan ada dua bentuk.
Pertama, silat tradisional. Silat tradisional harus menjadi dasar utama beladiri bagi anggota Patbanbu. Silat yang diajarkan adalah silat yang berkembang di daerah dimana Patbanbu berada. Di Patbanbu Padang bisa diminta guru Silat Pauh untuk mengajarkan ilmunya. Di Patbanbu Bukittinggi bisa diajarkan Silat Tuo. Di Pariaman bisa diajarkan Silat Sunua. Begitu seterusnya. Dalam hal silat tradisi, Patbanbu berperan ikut mengembangkan pencak silat anak negeri dimana Patbanbu berada. Intinya, dimana bumi dipijak di sana langit dijunjung.
Kedua, silat pertandingan. Pelajaran silat pertandingan adalah yang mengikuti kaidah atau aturan yang ditetapkan secara nasional oleh IPSI.
3.Pakaian untuk berlatih.
Untuk praktis dalam bergerak, Patbanbu tidak memakai galembong, melainkan mengadopsi pakaian judo/karate. Boleh berwarna putih-putih, boleh berwana hitam-hitam. Selain itu, untuk memberi motifasi kepada murid, Patbanbu juga mengadopsi sistim ‘naik tingkat’ dengan membedakan warna sabuk/ikat pinggang. Mulai dari sabuk putih, kuning, biru, hijau, coklat I, II, III dan hitam.
Begitulah, perguruan ini beliau dirikan sebagai jawaban sekaligus “protes” terhadap berbondongnya anak-anak muda Minang meninggalkan silat untuk belajar karate. Awal tahun 1970-an itu Patbanbu harus bersaing dengan perguruan-perguruan Judo dan karate yang sudah demikian mapan di kota Padang. Secara struktural mereka punya pengurus pusat di Jakarta, dan berinduk ke aliran karate di Jepang.
Anggota pertama Patbanbu adalah mahasiswa dari berbagai fakultas, juga beberapa dosen di IKIP Padang. Tempat latihannya semula di pantai Air Tawar. Lalu di Aula, kemudian pindah ke Pusat Kesenian Padang/PKP (kelak berubah nama menjadi Taman Budaya Sumatera Barat).
Pada awal berdirinya di IKIP Padang, Patbanbu adalah singkatan dari Patah Banting Bunuh. Bertukarnya singakatan Patbanbu dari Patah Banting Bunuh menjadi Empat Banding Budi punya sejarah tersendiri.
Sebagai anak seorang perwira Brimob, yang kala itu masuk kelompok Keluarga Besar ABRI (KBA), kegiatan Patbanbu yang beliau dirikan diam-diam diamati oleh Kodam dan Kodim Padang. Suatu hari sekitar Tahun 1973, Pangdam III/17 Agustus meminta Komandan Kodim Padang untuk bicara khusus dengan Makmur Hendrik soal nama perguruan “patah banting bunuh” yang kala itu sudah memiliki ratusan anggota tersebut.
Inti pembicaraan itu, Keluarga Besar ABRI mendukung sepenuhnya “perlawanan” terhadap perkelahian antar geng yang lagi marak di kota-kota Sumatera Barat. Namun nama “patah banting bunuh” itu terasa terlalu ‘keras’. Oleh karenanya disarankan untuk mencari akronim lain yang lebih netral.
Setelah melalui pemikiran yang mendalam, akhirnya sejak 1973 itu ‘Patbanbu’ yang semula merupakan singkatan dari Patah Banting Bunuh berobah menjadi Empat Banding Budi. Sejak itu pula beliau memasukkan unsur paling penting ke dalam pelajaran Patbanbu, yaitu Budi pekerti. Maka sejak itu ada empat mata pelajaran yang diberikan di Patbanbu.
Pertama, budi pekerti.
Ke dua, silat tradisi.
Ke tiga, silat olahraga.
Ke empat, judo.
Apa maksud kata “Banding”? Dari keempat pelajaran itu, yang dijadikan “kaca banding” (mana yang patut mana yang tak patut dilakukan), yaitu pelajaran pertama/utama adalah “budi pekerti”.
Sebelum pelajaran fisik dimulai, pelatih selalu mengawali dengan penyampaian “pesan”, bahwa anggota Patbanbu harus santun dan berbakti kepada ayah bundanya. Menghormati guru dan yang lebih tua, serta menyayangi yang muda.
Di sisi lain, para pelatih maupun senior dalam melatih juga harus mengontrol diri saat latihan. Latihan memang harus dengan disiplin yang keras. Namun latihan dengan disiplin “keras” berbeda dengan “kasar”. Jangan sekali-kali berbuat kasar, seperti menghukum dengan menempeleng atau menendang.
Makmur Hendrik selalu menyampaikan bahwa, anggota Patbanbu adalah anak-anak yang dititipkan ayah bundanya dengan harapan anak-anaknya mendapatkan didikan dan latihan yang berguna bagi masa depannya. Di rumahnya anak-anak itu tak pernah dikasari oleh ayah bundanya, apalagi sampai ditempeleng atau ditendang.
Kalaupun, seandainya, ada anak-anak yang mendapat perlakuan kasar di rumah dari orang tuanya seperti ditempeleng atau dipukul, beliau tidak ingin mimpi buruk anak-anak malang itu terulang lagi saat latihan di Patbanbu.
Dalam hal budi pekerti, khususnya sikap santun dan menghormati ayah bunda, saat latihan beliau sering bertanya: “Bila di rumah, saat ayah atau ibu memanggil atau menyuruh, apakah anda juga datang atau pergi juga dengan cepat? Tak ada gunanya kalian amat taat kepada saya atau kepada pelatih kalian, jika kalian tidak terlebih dahulu menghormati ayah dan ibu kalian di rumah. Mereka adalah orang yang melahirkan dan membesarkan kalian dengan keringat dan air mata. Hormati ayah dan ibu kalian terlebih dahulu, sebelum menghormati saya atau pelatih kalian di perguruan ini.”
Di Patbanbu juga berlaku aturan, menjelang ujian di sekolah anak-anak tidak diperkenankan ikut latihan, sampai ujian sekolah selesai. “Sekolah adalah masa depan kalian. Tidak ada orang yang jadi kaya, jadi Menteri, Gubernur, Bupati dan Walikota, bahkan jadi Camat pun, jika tidak sekolah. Kalau kalian mengandalkan sabuk hitam saja, tapi tidak sekolah, paling tinggi kalian hanya akan menjadi Satpam. Jika terpaksa harus memilih, sekolah atau sabuk hitam, maka kalian harus memilih sekolah.
“Saya tidak bangga kalau kalian meraih sabuk hitam atau juara, tapi gagal di sekolah. Biarlah sabuk putih terus, atau tak belajar beladiri sama sekali, asal kalian menamatkan sekolah, sampai ke jenjang yang tinggi. Biarlah tak meraih sabuk hitam, asal kalian menjadi anak yang berbudi pada ayah dan bunda kalian. Apa guna sabuk hitam atau jadi juara, tapi sekolah gagal dan tak berbudi kepada orang tua.”ujarnya.
Pendidikan budi pekerti berisi pesan-pesan moral tersebut disampaikan pelatih sebelum atau setelah latihan, paling tidak dalam dua bulan sekali. Di sisi lain, Perguruan tentu berharap agar anggota perguruan selain santun kepada ayah bundanya, berhasil sekolahnya, juga berhasil meraih sabuk hitam, dan jadi juara. Namun tentu saja tak semua harapan bisa dicapai. Minimal mereka santun kepada ayah bundanya, dan tetap gigih mencapai cita-cita.
Begitulah, dengan budi pekerti menjadi pelajaran utama, akronim Patbanbu berobah dari patah banting bunuh menjadi Empat Banding Budi. Dari empat pelajaran yang diberikan, budi pekerti menjadi “kaca banding” untuk melakukan mana yang patut, mana yang tidak patut. Baik di perguruan dan di tengah masyarakat, terutama di rumah yang harus hormat dan santun kepada ayah bunda.
Tujuan paling dasar Perguruan Silat Patbanbu adalah mendidik muridnya agar menjadi orang yang santun pada ayah bundanya, mendorongnya untuk mendahulukan sekolah agar menjadi orang yang berilmu dan cerdas, serta berguna bagi keluarga maupun masyarakat.
Selain itu, bagi Makmur Hendrik jika ada anak-anak Patbanbu yang pindah ke perguruan silat lain atau ke perguruan karate sekalipun, bukanlah sesuatu yang harus dimusuhi, sebagaimana beberapa perguruan lain melakukannya.
Adanya anak-anak yang pindahnya ke perguruan lain mungkin karena salah satu sebab.
Pertama, pelajaran Patbanbu kurang menarik, pelajaran di perguruan lain lebih berkualitas. Kedua, barangkali saja tempat latihan perguruan lain itu lebih dekat ke rumahnya, dibandingkan ke tempat latihan Patbanbu.
Selaku pimpinan perguruan, bagi beliau murid pindah perguruan beladiri sama saja dengan murid sekolah yang pindah dari satu sekolah ke sekolah yang lain. Karena itulah, pintu Patbanbu terbuka untuk yang ingin masuk, terbuka untuk yang ingin keluar. Lalu terbuka pula bagi yang sudah keluar lalu ingin masuk kembali.
MEDANLAGA
Patbanbu awalnya mentradisikan Gashukuu (bahasa Jepang untuk Latihan Bersama). Anggota Patbanbu semua cabang setiap dua tahun sekali berkumpul melakukan evaluasi sekaligus latihan bersama. Saat Gashukuu dilakukan kenaikan sabuk dan penetapan pengurus Patbanbu baik di Padang maupun diwilayah-wilayah lain. Gashukuu I dilaksanakan di Taman Budaya Padang.
Istilah Gashukuu dengan fungsi yang sama kemudian dirobah ke bahasa Indonesia yang lebih mengakar pada budaya Indonesia, yaitu menjadi MedanLaga. MedanLaga adalah singkatan dari Musyawarah dan Latihan Gabungan, yang dilaksanakan setiap empat tahun sekali.
Medanlaga I setelah perobahan dari Gashukuu dilaksanakan di Kompleks Rindam Simpang Haru. Medanlaga terakhir dilaksanakan pada Tahun 2010 di Ladang Padi atas gagasan Fauzi Bahar yang saat itu menjabat Walikota Padang dan Azhar Latif yang saat itu menjabat Dirut PDAM Padang. Pada Medanlaga tersebut Ir. Azhar Latif ditetapkan sebagai Pimpinan Patbanbu Pusat. Sekjennya adalah Dr. Yuliardi. Pimpinan Wilayah Riau adalah Ir. Zulkifli yang bertugas sebagai PNS Pemprov Riau.
Pimpinan Pusat merupakan pimpinan administratif perguruan untuk seluruh cabang perguruan. Sementara Pimpinan Wilayah adalah pimpinan administratif di tiap Provinsi. Di atas Pimpinan Pusat ada struktur Dewan Penasehat yang diketuai Brigjen Pol. H. Syafrizal Akhyar dan Prof.Dr. H. Fauzi Bahar sebagai Anggota. Di atasnya ada Pimpinan Perguruan dan Ketua Dewan Guru yang secara historis dipegang oleh Pendiri Perguruan.
Tahun 1986 Makmur Hendrik menjadi salah seorang official dalam rombongan PB IPSI ke Kejuaraan Pencak Silat dan Festival Silat Tradisi Sedunia di Austria dan beberapa kota besar di Eropa. Saat rombongan ke Belanda, Makmur Hendrik meresmikan Cabang Patbanbu di Belanda, yang berpusat di Amsterdam.
Pimpinannya adalah Hery Masfar, anggota Sabuk Coklat Patbanbu Angkatan I di Taman Budaya Padang, yang pindah ke Belanda sekitar akhir Tahun 1970. Setahun sebelumnya Masfar telah berkabar dan meminta Makmur Hendrik datang ke Amsterdam meresmikan perguruan.
Baru pada Tahun 1986 itu perguruan yang sudah memiliki puluhan anggota itu diresmikan. Sekaligus Makmur Hendrik menaikkan sabuk Masfar dari Coklat ke hitam, serta melaksanakan ujian kenaikan tingkat bagi anggota Patbanbu Amsterdam (polisi, tentara, security, perawat) yang sudah dua tahun terundur ujiannya.
Di Indonesia sendiri, Patbanbu menyebar seiring menyebarnya murid-murid Patbanbu yang menyambung sekolah ke luar daerah. Di Sumatera Barat, selain di Padang, berdiri cabang-cabang perguruan Patbanbu di Bukittinggi, Payakumbuh, Padangpanjang, Lima Kaum Tanah Datar, Painan, Sawahlunto, Pariaman, Lubuk Alung, dan Pasaman. Kemudian Riau di Pekanbaru, Siak, Duri, Rokan Hilir, Bengkalis dan Bangkinang. Jauh sebelum itu telah berdiri cabang Patbanbu di Jakarta, Semarang, dan Mataram/NTB.
Di Padang, selain latihan di Taman Budaya, suatu ketika Patbanbu melatih pemuda-pemuda Muhammadiyah di Masjid Muhammadiyah Padang di Wilayah Pasar Raya. Masjid ini berlantai dua, Patbanbu Cabang Muhammadiyah berlatih di Lantai II yang memang disediakan untuk tempat rapat atau kegiatan umum lainnya. Tempat shalat di Lantai I.
Sekitar dua minggu latihan, dua orang pemuda menyatakan keinginannya untuk menjadi anggota Patbanbu dan ikut berlatih. Kedua mereka ternyata sudah beberapa kali datang dan memperhatikan orang berlatih. Tanpa banyak prosedur, tanpa membayar apapun, mereka beliau terima dan kita minta mereka datang latihan hari berikutnya.
Namun sebelum keduanya ikut berlatih, tiga orang Pengurus Pemuda Muhammadiyah datang menyampaikan keberatan. Menurut mereka, kedua pemuda yang mendaftar itu adalah ‘preman terminal bus’.
Setelah mendengarkan keberatan itu, dengan tersenyum Makmur Hendrik menjawab perlahan: “Perguruan Patbanbu sama dengan Masjid, tidak pernah menolak siapapun yang masuk ke dalamnya. Ke Masjid siapapun bisa masuk dan bersembahyang. Tak peduli kaya atau miskin, buta atau penyakitan, tak peduli dia pencuri atau pembunuh. Begitu juga Patbanbu, mereka masuk pasti karena ada yang ‘menyuruh’. Siapa tahu, di masjid mereka menemukan hidayah. Lagipula belum tentu orang yang dicap preman benar-benar preman.”
Dengan penjelasan itu, Pemuda Muhammadiyah yang semula keberatan kemudian ikut mendukung kedua pemuda itu latihan di masjid tersebut. Apa yang beliau katakan kelak terbukti. Belasan tahun kemudian, kedua pemuda itu menjadi salah satu panutan bagi anggota Patbanbu. Salah seorang (Tiyas) menjadi pelatih bersertifikat nasional dan sering ditugaskan IPSI melatih pesilat-pesilat yang akan bertanding di Kejurda dan Kejurnas. Seorang lagi (Zainun Rian) menjadi wasit juri IPSI bersertifikat intenasional, yang sering ditugaskan menjadi wasit pertandingan internasional di berbagai negara.
Saat sejarah perguruan ini ditulis, anak-anak yang santun kepada ayah bundanya serta mendahulukan sekolah dari latihan, atau gigih latihan dan tekun bersekolah meski ayah bundanya kurang mampu, membuahkan hasil. Seorang murid Patbanbu, Fauzi Bahar dari Koto Tangah, menjadi Walikota di Padang untuk dua masa jabatan (2004-2009 dan 2009-2014).
Yang lain, Syafrizal Akhyar (juga Patbanbu Koto Tangah) pernah menjadi Wakapolda Provinsi Kepri dan pensiun dengan pangkat Mayor Jendral Polisi. Yang lainnya, Anggun (Patbanbu Bukittinggi), menjadi Atase Militer di Vietnam dengan pangkat Kolonel Laut. Ir. Azhar Latif (Patbanbu Padang) menjadi Dirut PDAM Padang. Jauh sebelum itu, Fahmi Rasyad, SH adalah anggota Patbanbu pertama yang menjadi Walikota. Dia anggota Patbanbu pada akhir tahun 1980-an, saat Patbanbu berpusat di Taman Budaya Padang. Masuk bersama isteri dan dua anak gadisnya yang sekolah di SMP dan SMA.
Kelak Fahmi Rasyad yang memegang Sabuk Hijau Patbanbu menjadi Walikota Payakumbuh Periode 1993 – 1998. Satu-satunya Anggota Kehormatan yang diangkat secara resmi pada tahun 1867 dan ditetapkan sebagai Anggota Sabuk Hitam Kehormatan adalah Gubernur Harun Zain.
Di sisi lain, Mihar Effendy (anggota Patbanbu Bukittinggi) sejak akhir tahun 1980 pindah ke Austria, menikah dengan gadis Austria dan mendirikan perguruan G-Sentak di sana. Muridnya ratusan orang, ada polisi dan tentara Austria. Ketika IPSI Sumbar melaksanakan Gelanggang Silih Berganti (GSB) di GOR Agus Salim – Padang pada tahun 1990, dia membawa 12 muridnya dari Austria mengikuti GSB tersebut.
Pada Tahun 2015, para senior yang masih setia mengembangkan Patbanbu adalah: Zainun Riyan di Bukittinggi, M. Ali, Aidil dan Syahrul (Caun), Amril, Surya Nelli dan Yanti di Padang, Yuhelni di Lima Kaum, Mawardi (Ujang) dan Jafrizal Chan di Sawahlunto, Sabar Maris di Pariaman) sebelumnya di Mataram/NTB, Ir. Zulkifli, Martias dan Boni di Riau. Para senior yang sudah meninggal diantaranya Martin Hendrik, Darma Wijaya dan Harjon Hendrik (Pekanbaru),Tiyas dan Fadril Aziz Isnaini (Infai) di Padang.
Sementara para senior yang masih berkomunikasi dengan pimpinan perguruan adalah Mayjen Pol. Purn. Syafrizal Akhyar, Prof.Dr. H. Fauzi Bahar, M.Si Dt. Nan Sati, Ir. Afrizal Nursin, dan Kapten Suardi(Jakarta), M. Husni, M.Pd, Drs. Achyar S, Prof, Dr. Harris Effendy Tahar (ketiganya dosen UNP), Ir. Azhar Latif, Dr. Yuliardi, Prof Dr. Rahmi Fahmi (Upik) dosen Unand,Kol. TNI AL. Fahmi Bahar, Syahminan Harun, Bastiar dan H. Zuchri Taher dan Sukri Aziz(Padang), Kombes Pol Arif Rahman Hakim (Polda Riau), Ir. Asmelita (PU Riau), Ely Susanti (Pelatih PPLM Riau) Mayjen Pol. Purn. Syafrizal Achyar, Kapten Suherman (Payakumbuh), Rita Zahara Hendrik, SH dan Yosep (Batam), Ishak (Buyung) Pariaman, dan Zulfider (Bukittingg). Tentu saja masih ratusan senior lainnya yang belum terpantau keberadaan mereka.
PADANG, 27 Februari 2025.