Padang, Sinyalgonews.com,— Di ruang rapat Komisi XI DPR, Selasa sore, 30 September 2025, suasana sempat menghangat. Menteri KeuanganPurbaya Yudhi Sadewa mengangkat tangan, suaranyameninggi. Ia menolak diperlakukan hanya sebagai “jurubayar” oleh sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang belakangan mengadukannya ke parlemen terkaitketerlambatan pembayaran subsidi dan kompensasi.
“Saya bukan juru bayar saja,” kata Purbaya dengan nada tegas. “Saya akan lihat apakah proyek-proyek merekaberjalan. Kalau tidak, kita potong anggarannya. Bahkansaya bisa minta ganti direkturnya.”
Pernyataan itu sontak membuat riuh ruang rapat. Beberapaanggota dewan mengernyit, sebagian lain menyeringai. Ucapan Purbaya mencerminkan gaya blak-blakan yang sejak awal ia bawa ke Kementerian Keuangan, hanya tigapekan setelah dilantik Presiden Prabowo Subianto pada 8 September lalu.
Sengkarut Subsidi
Pertikaian bermula dari keluhan BUMN energi, terutamaPLN dan Pertamina, yang menuding pembayarankompensasi dan subsidi dari pemerintah sering terlambat. Masalah ini klasik: harga jual energi kepada masyarakatdiatur pemerintah agar tetap terjangkau, sementara selisihdengan harga keekonomian ditanggung negara. Mekanismenya: BUMN menalangi dulu, lalu pemerintahmengganti lewat APBN.
Nilai subsidi energi memang tidak kecil. Tahun 2024, menurut catatan Kementerian Keuangan, subsidi energimencapai Rp 186,9 triliun. Angka itu terdiri atas subsidiBBM, LPG, dan listrik. Di luar itu, pemerintah juga membayar kompensasi energi sebesar Rp 159,6 triliununtuk menutup kerugian Pertamina dan PLN akibat hargajual yang di bawah keekonomian. Total beban fiskal energipada tahun lalu menembus lebih dari Rp 346 triliun—sekitar 10 persen belanja negara.
Dengan angka sebesar itu, sedikit saja keterlambatanpencairan bisa mengganggu arus kas perusahaan. Pertamina harus menanggung biaya impor minyak mentah, sementaraPLN dituntut menjaga pasokan listrik di seluruh negeri.
Purbaya mengakui ada jeda waktu, tapi menolak tudinganpemerintah telat hingga setahun. “Itu tidak mungkin,” ujarnya. Ia bahkan berjanji memangkas proses menjadihanya satu bulan. Ia mengingatkan pernah bekerja di sektorswasta sehingga paham betul beban korporasi jika arus kas tersendat.
“Begitu masuk akal, kita proses secepatnya. Tapi kalausudah biaya diturunkan, jangan main-main mereka,” katanya dengan nada mengancam.
Gaya Baru Sang Menkeu
Sejak dilantik menggantikan Sri Mulyani Indrawati, Purbaya memang membawa gaya berbeda. Ia tampil lugas, bahkan keras. Ucapan “saya bisa ganti dirut” menyiratkanniatnya menempatkan Kementerian Keuangan bukansekadar bendahara negara, tapi pengawas ketat BUMN.
Purbaya bukan wajah baru di lingkar ekonomi nasional. Sebelumnya ia dikenal sebagai ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dan pernahduduk di Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Latar belakang analis pasar membuat ia terbiasa menatap angkadengan kacamata risiko, bukan sekadar keseimbangan bukukas.
Kini, di kursi Menkeu, Purbaya mencoba menggeserparadigma. Ia ingin Kementerian Keuangan tak sekadar“membayar tagihan”, melainkan ikut menilai efektivitasproyek yang diajukan. “Kalau proposalnya kabur, janganharap lolos,” katanya, merujuk pada proposal Danantara, perusahaan energi pelat merah, yang menurutnya belumjelas arah bisnisnya.
Benturan dengan BUMN
Sikap keras Purbaya membuat hubungan dengan sejumlahdireksi BUMN rawan panas. Selama ini, BUMN terbiasamenganggap Kementerian Keuangan sebagai “dompetnegara” yang wajib membayar kompensasi. Ketika pembayaran molor, mereka menekan lewat DPR.
Manuver itu tampaknya membuat Purbaya jengkel. Iamenyebut nama Danantara secara langsung di forum DPR, sembari mengingatkan agar direksinya tidak mencariperlindungan politik. “Padahal sama saya teman. Saya pengawas Danantara, awas besok,” ujarnya.
Ucapan ini mengandung pesan ganda: Purbaya menegaskankewenangannya sekaligus menyinggung praktik klasik lobiBUMN lewat parlemen. Tak heran bila sejumlah anggotaKomisi XI terlihat terkejut mendengar nada ancaman itu.
Visi Energi Murah
Di balik retorika keras, Purbaya mencoba menunjukkanarah kebijakan jangka panjang. Ia mengungkapkandiskusinya dengan Presiden Prabowo dan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia soal pengembangan pembangkit listriktenaga surya (PLTS).
Investasi yang dibutuhkan tidak kecil, sekitar US$75 miliar. Pada awalnya, harga listrik dari PLTS masih mahal, 9 sen dolar per kWh. Namun belakangan turun menjadi 6 sen, mendekati harga keekonomian. “Kalau betul begitu, matangkan. Kita bisa masuk lewat PMN, karena pada akhirnya subsidi listrik akan berkurang,” kata Purbaya.
Gagasannya jelas: alih-alih terus menambal subsidi energi, pemerintah harus mendorong transformasi ke energi lebihmurah dan bersih. Dengan begitu, beban fiskal bisa ditekan, sekaligus menyiapkan transisi energi.
Politik Anggaran di Era Baru
Purbaya tampak ingin meninggalkan pola birokratis ala pendahulunya. Ia lebih menyerupai “ekonom lapangan” yang bicara apa adanya. Tapi gaya ini juga membawarisiko: ia bisa berhadap-hadapan dengan barisan BUMN besar yang punya jaringan politik kuat di DPR.
Seorang anggota Komisi XI yang enggan disebutkannamanya mengatakan ucapan Purbaya tentang “menggantidirut” terlalu jauh. “Itu wewenangnya Menteri BUMN, bukan Menteri Keuangan,” katanya.
Namun, pernyataan itu justru menunjukkan Purbayahendak memperluas tafsir peran Menkeu: bukan sekadarbendahara, melainkan penjaga efektivitas belanja negara. Dalam kerangka politik anggaran, sikap ini bisamemperkuat posisi pemerintah menghadapi BUMN yang kerap menjadi “sapi perah” subsidi.
Menunggu Bukti
Kini publik menunggu apakah janji Purbayamempersingkat pembayaran subsidi benar terwujud. Jika iamampu membayar tepat waktu sambil menekan inefisiensiBUMN, kredibilitasnya akan melonjak. Tapi jikaretorikanya hanya berakhir pada ancaman, ia akan mudahtersudut oleh lobi politik BUMN di Senayan.
Bagi Purbaya, pertempuran baru saja dimulai. Ia sadar kursiMenteri Keuangan bukan hanya soal mengatur kas negara, tapi juga menghadapi tarikan kepentingan raksasa energidan parlemen. Ia bisa jadi bukan sekadar juru bayar, tapiapakah ia sanggup menjadi pengawas sekaligus arsitektransformasi fiskal, itu ujian sesungguhnya.
(***)