Jacob Ereste:
he Last Battle for Democrasi “Melawan Demokrasi Dinasty”, dalam penggalan film yang merekam perjalanan demokrasi di Indonesia sejak Orde Baru. Visualisasi gambar dilayar mengawali peringatan setengah abad Malari (Malapetaka 15 Januari 1974) akibat kemarahan mahasiswa ketika itu yang digerakkan oleh Dokter Hariman Siregar yang melegendaris sampai hari ini.
Indonesia Demokrasi Monitor pun ikut merekam besutan kelompok yang dikelola Hariman Siregar hingga berusia 24 tahun sebagai penjaga demokrasi agar eksis di Indonesia. Usia segaek itu, tentu tidak gampang dirumat, bila tidak dilandasi dengan militansi yang tangguh dan terbukti telah teruji selam setengah abad bersama Indemo nyaris seperempat abad pula.
Dalam usia segaek itu untuk sebuah komunal, jelas memiliki ruh yang mulia, jika tidak dia akan mati terkubur oleh sang waktu.
Malapetaka 15 Januari 1974-2024 yang diperingati penuh khidmad di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, esensi utamanya adalah menandai adanya ruh perjuangan mahasiswa Indonesia yang pernah melawan ketidak adilan, kesewenang-wenangan rezim penguasa terhadap rakyat.
Peristiwa yang monumental itu, pun memperoleh julukan “malapetaka” dari penguasa, sekedar untuk mengesankan konotasi buruk terhadap ekspresi perlawanan yang dimotori oleh mahasiswa yang dipimpin Hariman Siregar.
Jadi esensinya dari peringatan setengah abad usia Malari dalam konteks sejarah memang sudah usang. Tetapi dari perspektif ruh spiritual gairah dan semangat perlawanan terhadap kebatilan itu perlu terus dikobarkan untuk membakar sikap dan sifat mahasiswa pada hari ini yang terkesan loyo, tak perduli pada dera dan derita rakyat sebagai pemiliki kedaulatan.
Lima puluh tahun peristiwa heroik mahasiswa ketika itu harus menjadi cermin diri bagi mahasiswa Indonesia hari ini, yang terkesan abai pada beragam macam bentuk kerusakan tata kelola negara yang berimbas pada tata kehidupan bangsa, sehingga tidak lagi memiliki etika, moral apalagi akhlak yang sepatutnya mulia sebagai manusia yang beradab seperti yang menjadi pedoman hidup bangsa Indonesia yang asli dan otentik seperti disebutkan dalam Pancasila.
Menikmati suasana acara peringatan 50 tahun Malari dan 24 tahun Indemo, sungguh menakjubkan, tampilan sejumlah aktivis gaek yang nyaris tak surut gairah maupun semangat juangnya. Tapi, toh idealnya tak cuma sekedar nostalgia, sebab yang tidak kalah penting adalah kehadiran mahasiswa Indonesia hari ini yang patut menangguk lebih banyak “ruh” dari perjuangan aktivis mahasiswa lima puluh tahun silam itu untuk mewarisi militansi, etos perjuangan serta kegigihan sebagai generasi pewaris sah negeri ini yang tidak boleh dibiarkan menjadi “bancaan” secara ugal-ugalan oleh rezim penguasa hari ini.
Peringatan lima puluh tahun Malari (1974-2024), sepatutnya dirayakan oleh mahasiswa Indonesia di masing-masing kampus, agar hikmah dari momentum yang telah menjadi monumen sejarah bagi mahasiswa Indonesia ini bisa menjadi cermin mengaca diri, sejatinya apa sih, tanggung jawab moral dan tanggung jawab sosial yang lebih patut diemban oleh sosok mahasiswa Indonesia sebagai generasi penerus yang kelak akan mewarisi semua apa yang dilakukan oleh rezim penguasa hari ini. Minimal dari dialog formal maupun informal dengan seabrek tokoh aktivis yang datang dalam acara setengah abad peringatan Malari dan Indemo ini bisa memberi perluasan wawasan, tak cuma sekedar menjadi aktivis mahasiswa yang hanya berkutat di kampus.
Tsman Ismail Marzuki, 15 Januari 2024