PADANG, Sinyalgonews.com, –– Pemanfaatan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan sangat membantu kerja kreatif Seniman dan Sastrawan, tapi tetap harus memperhatikan nilai moral, etika, dan hukum. Jangan sampai penggunaan AI menimbulkan masalah yang menyebabkan kerugian bagi pihak lain, karena ketidak jujuran kita.
Demikian terungkap pada Acara Pertunjukkan puisi lagu AI dan Diskusi Budaya Artificial Intelligence dalam Dunia Seni dan Sastra, yang diselenggarakan oleh Forum Kreator Era AI (FKEAI) Sumatera Barat, Sabtu 16 November 2024 14.00 WIB, di aula Kantor Dinas Kebudayaan Sumatera Barat Jalan Samudera No.31(Lantai 4) kota Padang.
Pertunjukan bertemakan “Menghadapi tantangan dan peluang di era artificial tanpa meninggalkan moral, etika dan hukum”, menghadirkan dua narasumber, yakni praktisi hukum Muhammad Ishak Fahmi SH MH, CRBC dan dosen FBS Universitas Negeri Padang Leni Marlina, S.S, M.A.
Acara dibuka oleh Koordinator FKEAI Sumatera Barat, Sastri Bakry.
Sastri menyebutkan, penggunaan AI saat ini tidak bisa dihindari dalam kehidupan sekarang. Banyak pekerjaan yang menggunakaan AI sebagai alat untuk memudahkan manusia dalam berkreatifitas. Termasuk kreatifitas menulis, seperti: menulis puisi, bernyanyi, melukis, dan berbagai kreatifitas lainnya.
“Namun penggunaan AI juga perlu kehati-hatian. Banyak juga AI yang tidak benar dan melanggar etika, moral, dan hukum. Karena itu sengaja didatangkan praktisi hukum kegiatan ini,” kata Sastri yang juga Ketua DPD Satupena Sumatera Barat didampingi Sekretaris SATUPENA Sumbar, Armaidi Tanjung.
Selanjutnya Sastri menjelaskan, forum Kreator Era AI Sumatera Barat , sangat menyadari bahwa bagaimana pun kita harus siap beradaptasi dengan perubahan dunia teknologi.
“Kehadiran FKEAI dan kegiatan ini tidak terlepas dari dukungan dari Koordinator FKEAI Pusat Elza Pedi Thaher dan Founder FKEAI Denny JA,” ujar Sastri.
Menurut Sastri, antologi puisi lagu implementasi dari AI dan diskusi ini adalah bentuk kepedulian kita masuk ke dunia digital yang semakin mengkhawatirkan jika tidak dikelola dengan tepat. “Pertanyaan menariknya, apakah AI ini perlu ditolak atau diterima dengan adaptif oleh para seniman, sastrawan, wartawan, budayawan bahkan akademisi,” ujarnya lagi.
Sebagai Narasumber pertama Muhammad Ishak menjelaskan, karya cipta yang sepenuhnya diciptakan oleh AI tanpa keterlibatan manusia tidak dilindungi oleh UU Hak Cipta di Indonesia. Karena AI bukan subjek hukum yang dapat memiliki hak cipta.
“Namun, jika manusia memainkan peran penting dalam proses penciptaan, hak cipta bisa diberikan kepada manusia tersebut. Ini adalah area yang sedang berkembang saat ini dan mungkin akan mengalami perubahan seiring dengan perkembangan hukum dan teknologi,” tutur Ishak pada diskusi yang dipandu oleh Mutiara Rimba.
Selanjutnya Narasumber ke dua, Leni Marlina mengungkapkan, melalui eksplorasi mendalam dalam pertunjukan ini, kita telah melihat bagaimana AI tidak hanya mengubah wajah seni, tetapi juga memperkaya dan memperluas cakrawala kreatif kita. Dari lukisan dan musik hingga sastra dan pertunjukan, AI telah membuka pintu baru untuk ekspresi artistik yang tidak terbatas. Dengan terus berkolaborasi dan berinovasi, kita dapat memanfaatkan AI untuk menjelajahi potensi kreatif yang belum terjamah dan terus mendorong batas-batas seni. Sebagai masyarakat, kita harus mendukung integrasi AI dalam seni, memastikan bahwa teknologi ini digunakan dengan cara yang etis dan berkelanjutan yang menghormati nilai-nilai kreatif dan kultural kita.
“Dalam dunia seni visual, AI telah mengubah cara seniman menciptakan dan mengeksplorasi berbagai teknik dan gaya. AI memungkinkan penciptaan karya yang lebih kompleks dan detail, sering kali melampaui batas kemampuan manusia biasa. AI juga membantu seniman dalam meniru atau belajar dari gaya seni historis, memberikan kesempatan untuk menggabungkan elemen-elemen klasik dengan pendekatan modern,” tutur Leni.
Penanggung jawab Puisi Lagu AI, Refdinal Muzan, S.Pd menyebutkan, kemajuan teknologi saat ini sungguh sangat menakjubkan. Hal-hal yang tadinya di luar dugaan kita, sesuai perkembangan zaman memasuki dunia nyata, dunia pijakan kita saat ini. “Apa mesti dielakkan? Tak juga mampu kita bendung dan menahan agar bertahan seperti gunung, seperti masa-masa yang biasa kita lalui,” kata Refdinal Muzan.
Refdinal yang memberikan contoh membaca puisi yang diciptakan sastrawan dikombinasikan dengan musik yang diciptakan AI membuat penonton yang hadir dari beragam komunitas itu terkesima.
Tampak hadir para penulis, penyair senior, seniman, mahasiswa, Forum Siti Manggopoh (FoSiMa), sekretaris Armaidi Tanjung, dan anggota SATUPENA.
Beberapa puisi lagu AI yang ditulis oleh penyair seperti Andria C. Tamsin, Syarifuddin Arifin, Emi Suy, Eka Teresia, Mindasari, Marianis, Mutiara Rimba, Refdinal Muzan, Ramli Djafar, Sastri Bakry, Muh.Ishak Fahmi, Leni Marlina, Nelli Gusmita, dan Wira Sukma membawa warna baru dalam tampilan pembacaan puisi berbasis AI.
“Apalagi buku yang dibagikan kepada peserta tersebut dapat diunduh lewat scan barcode yang ada di buku, sehingga memudahkan pembaca tidak hanya sekedar membaca bukunya secara konvensional tetapi juga menikmati lagunya secara digital,” ujar Refdinal.
(***)