Padang, Sinyalgonews.com,– Meskipun proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia sudah dinyatakan sejak 17 Agustus 1945, namun Belanda justru ingin berkuasa lagi. Sejarah pengakuan kedaulatan Indonesia baru terjadi beberapa tahun kemudian, itu pun setelah melalui jalan berliku, baik lewat konfrontasi maupun melalui meja diplomasi.
Tanggal 27 Desember 1949, pukul 10.17 pagi waktu setempat, Ratu Juliana selaku penguasa Kerajaan Belanda menyerahkan akta pengakuan kedaulatan terhadap Indonesia. Momen ini terjadi dalam sebuah upacara di Istana Dam, Amsterdam.
Seperti diketahui, Belanda telah menjajah Indonesia selama berabad-abad sampai akhirnya menyerah kepada Jepang pada 1942 dalam Perang Dunia Kedua. Setelah Jepang kalah dari Sekutu, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Namun, usai itu, Belanda dengan topeng NICA membonceng Sekutu masuk ke wilayah Indonesia dan ingin berkuasa kembali. Rangkaian perundingan maupun kontak senjata pun terjadi sebelum akhirnya mencapai kata sepakat.
Latar Belakang Usai Agresi
Militer Belanda II yang dilancarkan pada akhir 1948, titik terang perundingan Indonesia dan Belanda mulai terlihat. Hal ini dikarenakan Belanda mendapat kecaman dan reaksi keras dari dunia internasional, termasuk ultimatum dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Forum yang tercetus berkat inisiatif Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Dr. Philip C. Jessup, ini menghasilkan resolusi PBB. Intinya, PBB meminta kepada Belanda dan Indonesia untuk segera menghentikan konflik.
Selain itu, PBB juga mendesak Belanda agar melepaskan para pemimpin atau orang-orang Indonesia yang ditahan. Saat itu, Belanda masih enggan memenuhi tuntutan tersebut sehingga pembicaraan panjang terus dilakukan.
Di tengah upaya tersebut, terjadilah Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta yang dilakukan oleh angkatan perang Republik Indonesia. Serangan massal selama 6 jam itu adalah bukti bahwa Indonesia masih eksis.
Serangan Umum 1 Maret 1949 sontak menjadi pembicaraan di forum internasional dan memaksa Belanda agar bersedia duduk bersama dengan pihak Indonesia.
Tanggal 14 April 1949, terjadi pertemuan di Jakarta antara Mr. Mohammad Roem selaku wakil Indonesia dengan Dr. J.H. van Roijen dari Belanda untuk membahas kelanjutan perundingan yang sempat tersendat.
Dari pertemuan tersebut, pada 7 Mei 1949 dihasilkan kesepakatan yang dikenal sebagai Perjanjian Roem-Roijen. Secara garis besar, hasil perundingan ini merupakan bentuk kemenangan politik Indonesia atas Belanda.
Hasil Perjanjian Roem-Roijen juga membuka jalan bagi Indonesia untuk menyelesaikan perselisihan dengan Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) yang akan dilaksanakan di Den Haag, Belanda.
KMB dan Penyerahan
Kedaulatan
KMB pun dimulai pada 23 Agustus 1949 di Gedung Ridderzal, Den Haag. Pada 1 November 1949 dihasilkan kesepakatan yang berisi 3 poin, yaitu:
1. Piagam penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia.
2. Peraturan dasar Uni Indonesia-Belanda
3. Lampiran status Uni Indonesia-Belanda
Tanggal 21 Desember 1949, Presiden Sukarno membentuk dua delegasi untuk menerima penyerahan kedaulatan dan satu delegasi menerima penggabungan RI ke Republik Indonesia Serikat (RIS).
Mohammad Hatta ditunjuk sebagai delegasi untuk menerima penyerahan kedaulatan di Belanda, Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai delegasi menerima penyerahan kedaulatan di Jakarta, dan Dr. Abu Hanifah sebagai delegasi menerima penggabungan RI ke RIS.
Akhirnya kedaulatan Indonesia diakui oleh Belanda pada 27 Desember 1949 di Istana, Dam, Amsterdam. Dalam penyerahan kedaulatan ini dilakukan penandatangan 3 dokumen yang telah disepakati pada 1 November 1949.
Dengan penandatanganan tersebut, maka secara resmi Indonesia telah diakui oleh Belanda sebagai negara merdeka dan berdaulat penuh, serta menjadi bagian dari tatanan dunia internasional.
(MAH)