Padang, Sinyalgonews.com, – Membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi langkah pertama Soeharto tak lama setelah menerima Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) dari Presiden Soekarno.
Saat itu, Soeharto masih duduk sebagai Panglima Angkatan Darat (AD).
Tepat satu hari setelah mengantongi Supersemar yakni 12 Maret 1966, Soeharto, dengan mengatas-namakan Presiden Soekarno, mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1/3/1966.
Isinya, membubarkan Partai Komunis Indonesia, termasuk bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta seluruh organisasi yang seazas, berlindung, dan bernaung di bawahnya.
Keppres tersebut juga menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia.
Pada 14 Maret 1966, Soeharto kala itu mengaku bahwa penerbitan keppres didasari dari hasil pemeriksaan dan Putusan Mahkamah Militer Luar Biasa terhadap tokoh-tokoh PKI yang dituduh terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September.
Keputusan tersebut lantas diperkuat dengan Ketetapan MPRS Nomor XXV/1966.
Tafsir Soeharto
Supersemar sendiri sedianya berisi dua pokok penting. Pertama, Soekarno memerintahkan Soeharto untuk memulihkan ketertiban dan keamanan umum pasca pembunuhan enam jenderal dan satu perwira Angkatan Darat pada 30 September 1965.
Kedua, Sang Proklamator meminta Soeharto untuk melindungi presiden, semua anggota keluarga, hasil karya dan ajarannya.
Namun, Soeharto tak melaksanakan perintah tersebut dan justru mengambil tindakan sendiri di luar perintah presiden Soekarno, salah satunya dengan menerbitkan Keppres Nomor 1/3/1966.
Diakui oleh Probosutedjo, adik Soeharto, sebenarnya tidak ada kalimat perintah membubarkan PKI dalam Supersemar.
“Tetapi Mas Harto memiliki keyakinan bahwa pemulihan keamanan hanya akan terjadi jika PKI dibubarkan,” katanya dalam memoar Saya dan Mas Harto.
Isinya, menahan 15 menteri yang dianggap terkait dengan PKI dan terlibat Gerakan 30 September 1965.
Sebagai gantinya, Soeharto mengangkat lima menteri koordinator ad interim yakni Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, Roeslam Abdulgani, KH Idham Chalid, dan J. Leimena. Soeharto juga mengangkat beberapa menteri ad interim lainnya hingga terbentuk kabinet baru.
Versi buku agenda biografi Soeharto yang pernah penulis baca, penahanan itu dilakukan karena adanya demonstrasi yang menuntut perombakan kabinet. Para demonstran menduga, sejumlah menteri terindikasi terlibat peristiwa G30S dan dekat dengan PKI. Mereka bahkan meminta menteri-menteri tersebut ditangkap dan diserahkan ke Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad)
Tiga bulan setelahnya, tepatnya 20 Juni-6 Juli 1966, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menggelar Sidang Umum.
Terjadi dua peristiwa besar dalam momen itu. Pertama, ditolaknya pidato pertanggung-jawaban Soekarno berjudul Nawaksara. Lalu, ditetapkannya Supersemar melalui TAP MPRS Nomor IX/MPRS/1966. Soekarno bukannya tinggal diam. Dia sempat mengecam aksi Soeharto yang menurutnya menyalah-gunakan Supersemar dengan mengeluarkan pidato berjudul Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah alias Jas Merah. Namun, pidato itu tak berarti banyak. Kekuasaan Bung Karno perlahan mulai digerogoti.
Politis Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam pernah mengatakan pada penulis, upaya pembubaran PKI bisa dilihat dari sisi politis dan bukan ideologi. Menurut Asvi, pembubaran PKI memudahkan upaya perebutan kekuasaan dari tangan Soekarno. Asvi mengatakan, saat itu Soeharto berupaya memisahkan Soekarno dari orang-orang terdekat dan para pendukungnya yang setia.
“PKI itu pendukung Soekarno. PKI itu dibubarkan bukan karena ideologinya, tetapi karena partai yang mendukung Soekarno,” kata Asvi seperti diberitahukan pada penulis, 6 Maret 2016. “Kabarnya anggotanya mencapai 3 juta orang. Artinya, 3 juta pendukung Soekarno itu sudah bubar,” tuturnya. Seolah tak cukup merongrong kekuasaan Seokarno dengan membubarkan PKI dan mengganti para menteri, Soeharto juga membubarkan pasukan pengawal Presiden, Tjakrabirawa.
Mereka dipulangkan ke daerah masing-masing pada 20 Maret 1966. Pemulangan itu dilakukan terhadap empat batalyon dan satuan detasemen atau sekitar 3.000 sampai 4.000 orang. “Orang-orang yang menjaga dan loyal kepada Soekarno itu disingkirkan. Mereka adalah kekuatan pendukung Bung Karno. Kemudian, tugasnya diserahkan kepada Pomdam Jaya. Seakan Soeharto ingin mengurung dan mengawasi Soekarno, bukan mengamankan,” tutur Asvi.
Hari-hari setelahnya, Soeharto menjadikan Soekarno “tahanan rumah” di Istana Bogor, lalu di Wisma Yaso di Jakarta. Sang presiden pertama RI pun turun tahta setelah pidato pertanggungjawabannya ditolak MPRS pada 22 Juni 1966. Tak sampai setahun setelahnya tepatnya Maret 1967, Soeharto ditunjuk sebagai “pejabat presiden”. Soeharto resmi menjabat presiden sejak 26 Maret 1968 dan berkuasa selama 32 tahun lamanya di Indonesia.(MAH)