- Padang, Sinyalgonews.com,—Allah SWT memiliki banyak cara untuk memberikan motivasi kepada hamba-hamba-Nya. Syekh Imam an-Nawawi al-Bantani dalam kitabnya yang berjudul Nashaih al-‘Ibad ‘Ala Syarhi al-Munabbihat Li Isti’dad al-Yaum al-Ma’ad menjelaskan dengan mengutip riwayat dari Umar bin Khatab.
Perkara pertama disebutkan dalam riwayat Umar tersebut adalah, Allah SWT menyembunyikan keridhaan-Nya dalam ketaatan-Nya. Imam Nawawi menjelaskan, maksud dari mengapa Allah menyembuyikan hal itu karena agar siapapun tidak menganggap kecil perkara positif yang dilakukan. “Sebab bisa jadi keridhaan-Nya itu ada pada hal kecil itu,” tulis Imam an-Nawawi.
Yang kedua, Allah tak menampakkan murka-Nya dalam kemaksiatan. Hal ini dilakukan agar manusia menghindari segala bentuk maksiat, seberapapun kecilnya. Sebab, bisa jadi, akibat pelanggaran kecil itulah, Allah SWT bisa murka.
Perkara yang ketiga, adalah rahasai Lailatul Qadar selama Ramadhan. Tak seorangpun mengetahui kapan Lailalatul Qadar itu ada. Rahasia ini tak lain bertujuan agar umat Islam bersungguh-sungguh beribadah, sepanjang Ramadhan.
Sementara yang keempat, Allah merahasiakan para wali-Nya di antara manusia biasa. Rahasia ini agar manusia tidak mudah menganggap sebelah mata orang lain, sebab bisa jadi, mereka yang justru dianggap remeh itu, memiliki kedudukan yang luar biasa di hadapan-Nya.
Sedangkan rahasia yang kelima, Allah tidak memberitahukan ajal seseorang. Inilah di antara rahasia terbesar tak lain agar kita, umat manusia, bersiap-siap selalu menyambut ajal tiba. Dan yang keenam, Allah merahasiakan shalat al-wustha (shalat yang utama) dalam shalat lima waktu. Di antara rahasia dari penyembunyiannya adalah agar seorang Muslim menjaga secara konsisten lima kewajiban shalatnya.
Ketika Allah Tutupi Aibku, Sebagai Dosen Perguruan Tinggi Bung Hatta Di Kota Padang
Pada zaman Fase ke-4 kini, Sumatera Barat ditimpa musibah yang berkepanjangan. Diantara warga Koto Sungai Sariak berkata kepada Syaikh Ungku Saliah, “Ya Kaliimallah, berdoalah kepada Rabbmu agar Dia menghilangkan musibah kepada kami dan musibah diseluruh wilayah Sumatera Barat .”
Maka berangkatlah Syaikh Ungku Saliah bersama beberapa orang santrinya menuju kota Padang, tiba di Masjid Raya Ahmad Khatib Al Minangkabawi Sumatera Barat. Waktu itu mereka berjumlah 17 orang. Mulailah mereka berdoa dengan keadaan yang lusuh dan kumuh penuh debu, haus dan lapar di dalam Masjid Raya Sumatera Barat. Syaikh Ungku Saliah berdoa, “ Yaa Allah,Tuhanku! Hentikan musibah kepada kami. Tebarkanlah rahmat-Mu kepada kami, kasihilah kami demi anak-anak yang masih menyusui, hewan ternak yang merumput, dan para orang-orang tua yang rukuk kepada-Mu.”
Setelah itu, langit tetap saja terang benderang, matahari pun bersinar makin kemilau. Kemudian, Syaikh Ungku Saliah berdoa lagi. Namun, tetap saja tidak ada tanda-tanda akan berhentinya musibah. Allah pun berfirman kepada Syaikh Ungku Saliah, “Bagaimana Aku akan menghentikan musibah kepada kalian di Sumatera Barat, sedangkan diantara kalian ada seorang hamba yang bermaksiat sejak 9 tahun yang lalu. Tiada berbakti kepada ayah kandungnya, malah justru merasa bangga bisa merampas sebahagian dana pensiun ayahnya dan merampas hak kakak kandungnya sendiri. Ia sudah hidup mapan dan berkeluarga, memiliki seorang isteri dan 2 orang putra. Ia bekerja sebagai dosen di kampus Bung Hatta di kota Padang. Bahkan ia dan 2 orang putranya jarang hadir mendirikan shalat fardhu berjema’ah di Masjid.
“Umumkanlah di hadapan manusia yang saat ini hadir di Masjid atau berada di kampus Bung Hatta, agar dia berdiri di hadapan kalian semua. Karena dialah Aku tidak menghentikan musibah di seluruh wilayah Sumatera Barat untuk kalian.”
Maka Syaikh Ungku Saliah pun berteriak di tengah-tengah kaumnya, “Wahai hamba yang bermaksiat kepada Allah sejak 9 tahun yang lalu, keluarlah ke hadapan kami. Karena engkaulah berbagai bencana di Sumatera Barat ini terjadi!”
Seorang laki-laki dosen Bung Hatta melirik ke kanan dan kiri, maka tak seorang pun yang ia lihat keluar dan berdiri di hadapan mereka. Saat itu ia sadar dirinyalah yang dimaksud Syaikh Ungku Saliah. “Ya Allah, aku telah bermaksiat kepada-Mu selama 9 tahun, selama itu pula Engkau menutupi aibku. Sejak ibu kandungku Nur Amna meninggal dunia pada tanggal 17 Juli 2015,
aku telah bersekutu dengan setan merampas sebahagian besar dana pensiun ayahku sejak Oktober 2015 hingga sekarang ini. Karena ayahku telah uzur, tak perlu repot repot mengurus kesehatan dirinya dan tak perlu aktif memperhatikan ibadahnya mendirikan shalat fardhu berjema’ah di Masjid. Karena aku berharap ayah lekas menyusul ibuku di alam kubur, sehingga aku bisa total mengusai semua dana pensiun ayahku. Sungguh sekarang aku bertobat kepada-Mu yaa Allah, maka terimalah tobatku.”
Tak lama setelah pengakuannya tersebut, akhirnya berbagai bencana di Sumatera Barat pun berhenti. Termasuk erupsi Gunung Merapi.
Syaikh Ungku Saliah keheranan, “Ya Allah, Engkau telah hentikan berbagai bencana kepada kami, tetapi tak seorang pun yang keluar berdiri di hadapan manusia.”
Allah berfirman, “Aku menghentikan bencana kepada kalian, oleh sebab hambaKu yang karenanya bencana di Sumatera Barat terjadi.”
Syaikh Ungku Saliah berkata, “Ya Allah, tunjukkan padaku orang itu! Tunjukkan aku pada orang itu!” Allah berfirman, “Wahai Ungku Saliah, Aku telah menutupi aibnya, padahal ia bermaksiat kepada-Ku. Apakah sekarang Aku harus membuka aibnya, sedangkan ia telah bertobat dan kembali kepada-Ku?”
Kisah ini nyata terjadi di tahun 2015 hingga 2024, terdapat di dalam buku Fii Bathni al-Huut karya Syekh Dr. Muhammad al-Arifi. Menutup-nutupinya Allah SWT atas aib atau dosa hamba-hambaNya itu merupakan bentuk ke-Maha baikan Allah kepada hamba-hamba-Nya.
Penutupan Allah SWT atas dosa-dosa hamba-Nya berlaku saat di dunia. Namun, bila hamba itu belum bertobat nasuha, maka penutupan dosanya akan berlangsung terus hingga akhirat kelak. Oleh karena itu, ketika Allah SWT menutupi aib-aib kita atas manusia lainnya, itu hendaknya tidak menjadi kan kita terlena. Itu justru menjadi sarana bagi kita untuk segera bertobat.
Seperti adanya bencana banjir dan pembunuhan hambaNya, maka hambaKu belum bertobat nasuha.
(***)