Media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan modern, memungkinkan individu untuk berinteraksi dan berbagi pengalaman dengan mudah. Namun, platform ini juga menjadi tempat berkembangnya ujaran kebencian, terutama yang berkaitan dengan rasisme dan diskriminasi warna kulit. Salah satu contoh nyata dari fenomena ini adalah ujaran kebencian yang dialami oleh Fuji, seorang publik figur yang memiliki kulit gelap.
Ujaran kebencian adalah bentuk komunikasi yang merendahkan, mengancam, atau menghina seseorang atau kelompok berdasarkan atribut seperti ras, warna kulit, agama, etnis, jenis kelamin, orientasi seksual, atau disabilitas. Di media sosial, ujaran kebencian dapat menyebar dengan cepat dan menjangkau audiens yang luas, seringkali tanpa konsekuensi langsung bagi pelakunya.
Fuji, seorang artis muda yang sedang naik daun, kerap menjadi sasaran ujaran kebencian di media sosial karena warna kulitnya yang gelap. Di Indonesia, standar kecantikan seringkali masih didominasi oleh kulit putih atau cerah sehingga mereka yang memiliki kulit gelap seringkali menjadi objek diskriminasi dan cibiran.
foto yang diposting melalui akun instagram @fuji_an Komentar-komentar negatif yang ditujukan kepada Fuji seringkali berisi hinaan, stereotip negatif, dan ejekan yang berakar pada prasangka rasial. Beberapa komentar datang dari akun-akun wanita, seperti “kalo ga pake kamera ip mah magrib nil” dari akun @harvesst dan “Aura magrib memang gabisa bohong” dari akun @asibali. Ujaran ini banyak didapati Fuji melalui video yang uploadnya pada akun TikTok @fujiiian. Namun, banyak juga yang membela Fuji, seperti komentar dari @herawati_1967: “kamu biar di dandanin apa aja, ataupun ga, tetep aja menawan, cantik ga bisenin” dan dari @BILA: “uti semangat yah
jangan dengerin komentar orang lain uti ingat gala sama klurga aj semangat uti❤️❤️❤️”.
Akun @dayu rahma juga membela dengan berkata, “Cantik gini dibilang magrib”.
Ujaran kebencian memiliki dampak psikologis yang signifikan bagi korbannya. Bagi Fuji,
serangan berulang kali dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan depresi. Lebih jauh lagi,
fenomena ini memperkuat stigma sosial terhadap orang-orang berkulit gelap, memperburuk
ketidakadilan dan diskriminasi yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
foto yang diposting melalui akun instagram @fuji_an Dampak negatif ini tidak hanya dirasakan oleh individu yang menjadi korban langsung, tetapi juga oleh masyarakat luas. Ujaran kebencian dapat menciptakan atmosfer ketakutan dan permusuhan, yang pada gilirannya mengikis kohesi sosial dan toleransi.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya dari berbagai pihak, termasuk platform media sosial, pemerintah, dan masyarakat.
Platform media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram memiliki tanggung jawab untuk memantau dan menghapus konten yang mengandung ujaran kebencian. Mereka perlu mengimplementasikan algoritma yang lebih canggih untuk mendeteksi ujaran kebencian serta menyediakan mekanisme yang mudah bagi pengguna untuk melaporkan konten berbahaya.
Pemerintah perlu menetapkan regulasi yang jelas dan tegas mengenai ujaran kebencian di media sosial. Undang-undang harus menuntut pertanggungjawaban bagi mereka yang
menyebarkan kebencian serta memberikan perlindungan kepada korban.
Masyarakat harus dididik tentang bahaya ujaran kebencian dan pentingnya menghormati keragaman. Kampanye sosial yang menekankan nilai-nilai toleransi dan inklusivitas dapat membantu mengubah pandangan negatif terhadap individu dengan warna kulit yang berbeda.
Ujaran kebencian di media sosial terhadap individu berkulit gelap seperti Fuji adalah masalah serius yang memerlukan perhatian dan tindakan kolektif. Dengan kerjasama antara
platform media sosial, pemerintah, dan masyarakat, kita dapat menciptakan lingkungan online yang lebih aman dan inklusif. Ini bukan hanya tentang melindungi individu tertentu, tetapi juga tentang membangun masyarakat yang lebih adil dan toleran bagi semua.
Ditulis oleh: Siti Istinasya, Filda Husnul Khatimah, Lexania Tivanya Surya, Afifa Fatiha Hania Monsaind (Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas)