Padang, Sinyalgonews.com,—
Ranah Minang Alamnyo Elok Rakyatnyo Makmur Hidupnyo Rukun. Satu kalimat indah yang menjadi impian bagi semua orang minang baik yang hidup di ranah maupun di rantau.
Alam yang elok adalah sebua anugerah dari Allah swt. Rakyatnyo makmur juga juga didapat dari rezeki yang dianugerahkanNYA dan dikelola oleh rakyat dan dibagi untuk rakyat. Hidupnya yang rukun tentu sangat ditentukan oleh rakyat itu sendiri. Namun kesemuanya akan berjalan lebih baik apabila dipimpin oleh pemimpin yang baik serta diawasi oleh para ulama yang arif dan bijaksana. Sehingga terwujudlah “Nagari yang baldatun thoyibatun warabbun ghofur” nagari yang makmur dalam setiap bidangnya, karena dilandasi dengan dasar tauhid.
Lalu apa yang terjadi sekarang ?
Kita akhir akhir ini mendengar bahwa terjadi ketidak nyamanan antara MUI Payakumbuh dengan sebagian rakyat yang ingin menyelenggarakan Tabligh Akbar (yang diisi oleh UAS) yang tentunya diduga oleh sebagian masyarakat dalam rangka kampanye salah satu paslon Kepala Daerah. Memang situasi politik menjelang pilkada serentak ini sangat panas sehingga MUI merasa perlu untuk mengatur hal ini sesuai dengan fungsinya, kebijakan ini tentu sangat tepat dan bagus. Lalu MUI Kota Payakumbuh mengeluarkan berupa surat larangan terhadap kehadiran ulama dari luar. Hanya saja dalam penulisan surat sepertinya ada kata yang kurang bersahabat. Lalu berkembang sehingga menjadi polemik dikalangan masyarakat dan akhirnya berkembang bagaikan bola liar dan terjadi goreng menggoreng. Tidak ketinggalan juga akan dimamfaatkan oleh orang orang yang tidak senang dengan islam.
Kalau melihat siapa yang salah, ya sekarang jadinya semua salah, sudah terjadi balas berbalas pantun.
Kalau boleh saya ingin sampaikan, apa beda ulama dahulu dengan ulama sekarang. Salah satunya terletak pada cara komunikasi, cara berbicara baik dengan ummat maupun dengan sesama ulama. Kalau segi ilmu ulama sekarang bisa jadi lebih menguasai karena sarana belajar baik berupa buku maupun alat komunikasi yang menunjang belajar lebih banyak. Namun ulama dahulu yang saya ketahui bahasa lebih santun, ado kato mandata, kato manurun, kato mandaki dan kato malereng. Sebagai contoh yang saya ketahui yaitu Ketua MUI dahulu Buya Dt. Palimo Kayo. Beliau tegas dan berani tetapi lembut dalam bertutur kata. Bisa berbicara dengan berbagai lapisan masyarakat. Beliau mendengar dengan tenang dan kadang meluruskan kalau ada yamg perlu diluruskan. Kalau ada yang bertanya akan dijawab dengan bahasa sesuai dengan penanya. Orang tidak merasa digurui.
Adapun ulama sekarang (tentu tidak semuanya) cara komunikasi kurang diperhatikan. Kurangnya berdialog, lebih banyak monolog, sehingga terkesan menggurui. Kurang memperhatikan dengan siapa dia berdialog. Akibat komunikasi yang kurang baik tersebut sering menimbulkan kasalah fahaman. Memang sesuai dengan nama, ulama adalah orang mempunyai banyak ilmu, akan tetapi jangan menjadikan “merasa banyak ilmu”. Sehingga timbul rasa sombong baik sesama ulama apalagi terhadap ummat/rakyat.
Pada sisi lain ummat sekarang sangat heterogen.Kesenjangan pengetahuan yang umum tentang agama sangat terlihat. Yang mempengaruhi juga sangat banyak mulai dari lingkungan, telepon genggam, politik, kondisi ekonomi dan bahkan juga dipengaruhi oleh kelompok/golongan yang juga memperebutkan ummat/suara ummat untuk mencapai tujuannya dan banyak lagi yang lain. Semuanya itu mempengaruhi bahasa atau cara komunikasi mereka, sehingga keluar kata kata yang tidak sepantasnya yang ditujukan kepada ulama.
Kurang menghargai ulama, padahal ulama itu adalah “waratsatul anbya الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ “Ulama Pewaris Para Nabi”. Sudah sepatutnyalah kita sebagai ummat menghotmati para ulama dan juga sebaliknya. Kita rindu akan kehidupan dimana ummat dan ulama bersatu tidak mudah dipecah belah.
Begitu juga bagi seorang ulama besar seperti Abdul Somad. Hampir tidak ada orang yang tidak kenal beliau. Ulama yang sangat dihormati di indonesia bahkan juga diluar negeri. Seharusnya juga bisa memahami kondisi nagari bahkan malah negara yang dalam keadaan tidak baik baik saja. Oleh karena itu.tidaklah perlu sampai mengucapkan kata kata yang kira kira bunyinya “berat bagi saya untuk menginjakkan kaki lagi ke Ranah Minang seumur hidup saya”.Yang bermasalah kan dengan MUI Payakumbuh atau beberapa orang lain saja, bukan dengan Ranah Minang. Apalagi sebetulnya yang Ranah Minang tersebut tidak identik benar dengan Sumatera Barat bisa lebih luas dari Sumatera Barat.
Oleh karena persoalan sudah meluas dan jelas merugikan kita semua dan akan menguntungkan pihak luar yang memang sedang mencari celah untuk memecah belah kita, maka saya menghimbau kita semua baik yang berada di ranah maupun di rantau untuk sama sama mengakhiri polemik ini. Melupakan semuanya dengan lapang dada dan saling bermaaf maafan karena musuh kita sebenarnya bukanlah saudara kita. Khusus untuk UAS kembalilah datang ke Ranah Minang , kami rindu akan ilmumu dan menunggu kedatanganmu dengan senang hati Semoga Allah swt mengampuni kekeliruan dan kekhilafan kita ini dan menjadikan nagari kita menjadi “Nagari yang baldatun thoyibatun warabbun ghofur” Aamiin ya Rabbal’alamin.
(***)