Santa Cruz, Sinyalgonews.com,- Banyak pertanyaan selama ini mengenai korelasi dan interkorelasi antara gen dan pertumbuhan sel. Apakah gen berjalan sendiri mempengaruhi pertumbuhan sel, atau dipengaruhi oleh faktor-faktor non-genetis.
Lipton, mantan profesor di Fakultas Kedokteran Universitas Wisconsin dan Fakultas Kedokteran Stanford, semula adalah seorang atheis seumur hidup hingga pertengahan tahun 80-an, ketika penemuannya tentang cara sel berfungsi meyakinkannya bahwa Tuhan memang ada — sebuah perubahan yang ia samakan dengan transformasi mistis. Ia berbicara dengan Jurnalis Sinyalgonews baru-baru ini melalui telepon dari rumahnya di Santa Cruz.
Dalam buku Anda, “The Biology of Belief,” Anda berpendapat bahwa keyakinan kita, bukan DNA kita, yang mengendalikan biologi kita. Bagaimana Anda sampai pada kesimpulan itu?”
Biology of Belief karya Bruce H. Lipton PhD yang telah diluncurkan terjemahan Indonesianya oleh Javanica, mengupas hal itu. Tesis dasarnya adalah kesehatan kita tidak dikontrol oleh faktor genetik tapi perkawinan yang mesra antara pikiran, makanan (lingkungan) dan relasi sosial.
Bagi mereka yang belum mengenal siapa Bruce H Lipton PhD, mungkin pernah membaca atau mendengar mengenai transplantasi organ. Misalnya, seorang yang jantungnya bocor mendapatkan cangkok jantung dari orang lain.
Atau orang yang mengalami kecelakaan parah mengambil jaringan hewan tertentu untuk ditambal sulam pada bagian tertentu. Bruce Lipton adalah seorang tokoh ternama di bidang ini.
Teknik eksperimental transplantasi jaringan yang dia kembangkannya bersama koleganya Dr. Ed Schultz dan diterbitkan dalam jurnal Science tahun 1973 digunakan sebagai bentuk baru dari rekayasa genetika manusia.
Dalam perjalanannya, perspektif Lipton bergeser ekstrim. Dari seorang atheis pemuja kecerdasan otak menjadi seorang yang menghayati spritualitas. Dia menolak atheisme. Lebih dari itu, dia mencurigai ada yang salah secara fundamental dalam pengembangan ilmu-ilmu medis.
Konsentrasi terlalu besar pada tubuh manusia melupakan fakta bahwa kita hidup dalam suatu jaringan kehidupan yang kaya, yang dalam turunan bidang studi biologi disebut dengan ekologi.
Lipton memandang bahwa, pengobatan konvensional selama ini beroperasi atas dasar pandangan yang kolot bahwa, kita dikendalikan oleh gen sebagai faktor dalam.
Pandangan ini menyalahi prinsip bagaimana biologi bekerja sebagai suatu studi tentang kehidupan dan organisme yang hidup dimana faktor lingkungan mengambil peran yang sangat penting dalam menentukan kehidupan.
Sebagai alternatif, Lipton menawarkan konsep baru yang melawan determinisme genetik, yakni teori epigenetik. Melalui konsep ini.
Lipton mengajukan tesis bahwa perubahan yang diwariskan dalam fenotip (karateristik yang nampak seperti warna kulit, bentuk rambut, dan tampilan fisik yang nampak) atau perwujudan gen disebabkan oleh mekanisme yang terjadi di luar atau tidak serta merta berkaitan dengan perubahan dalam urutan DNA yang mendasarinya.
Lipton menganalogikan gen seperti kendaraan. Dalam analogi itu, bukan kendaraan itu sendiri yang bertanggung jawab menghentikan dirinya sendiri, tapi sopir.
Siapa sopir itu? Menurut hasil studi Lipton, sopir adalah gaya hidup atau cara hidup yang menentukan bagaimana kita memelihara kehidupan, yang berkisar pada tiga hal: berpikir positif, makan yang sehat, dan gerak tubuh atau olahraga. Dengan cara begitu kita tidak akan babak belur sampai harus membutuhkan spare part baru atas tubuh kita.
Lipton merujuk pada pekerjaan Dr. Dean Ornish yang merawat pasien kardiovaskular dengan memberikan mereka asupan Nutrisi yang lengkap. Bukan obat-obatan kimia yang sangat berbahaya dan haram, tetapi perubahan pada gaya hidup (menu makan yang lebih baik, teknik mengurangi stres, dan seterusnya).
Hasilnya penyakit kardiovaskular sembuh. Menurut Ornish, jika dia mendapatkan hasil yang sama dengan obat, setiap dokter akan mewajibkan resep Nutrisi ysng lengkap itu untuk pasien-pasien mereka.
Tentu saja. Apalagi jaman now yang doyan propaganda obat. Jenis sakit apa saja, seolah-olah harus pake obat, pake vaksin, dan seterusnya. Lupa, bahwa tubuh adalah benteng terbaik untuk dirinya sendiri.
*Epigenetik*
Lalu, bagaimana dengan kanker? Bukankah telah menjadi pengetahuan medis bahwa, predisposisi genetik mengakibatkan sakit kanker.
“Bahkan dengan cara hidup yang ketat pun tidak akan menghilangkan peluang itu. Dalam hal ini, dipercayai oleh pakar-paker biologi terkemuka bahwa gen mutan adalah sebab kanker. Bagaimana perubahan pola hidup dan lingkungan bisa menyembuhkan kanker,” jawab Lipton.
Uji coba yang dilakukan Lipton menjawab pertanyaan ini, sekaligus memperkenalkan konsep epigenetik.
Lipton menempatkan satu jaringan sel ke dalam wadah kultur, yang kemudian mengalami pembelahan setiap sepuluh jam.
Setelah dua minggu, ada ribuan sel di dalam wadah itu, dan semuanya identik secara genetik karena diturunkan dari sel induk yang sama. Lipton lalu membagi populasi sel dan menginokulasi mereka dalam tiga cawan budaya yang berbeda.
Percobaan berikutnya menentukan. Dia memanipulasi media kultur modifikasi lingkungan sel di setiap wadah. Di satu wadah, sel-sel itu berubah menjadi tulang, di wadah lain menjadi otot, dan di wadah terakhir, menjadi lemak. Dan Lipton meyakini bahwa hal kejadian Tuhan Yang Maha Kuasa.
“Hasil ini menunjukkan bahwa, gen tidak menentukan nasib sel karena semua wadah itu memiliki gen yang persis sama. Lingkungan dan campur tangan Tuhan lah yang menentukan nasib sel, bukan pola genetiknya,”ungkapnya
“Jadi, jika sel berada dalam lingkungan yang sehat, mereka juga sehat. Jika mereka berada di lingkungan yang tidak sehat, mereka jatuh sakit,”pungkasnya.
Dr. Lipton kemudian mengambil langkah lebih jauh, yang membawa kita kembali ke pertanyaan tentang kanker. Berikut ini hubungannya.
Dengan lima puluh triliun sel dalam tubuh anda, tubuh manusia setara dengan cawan petri yang dilapisi kulit. Memindahkan tubuh dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya akan mengubah komposisi ‘media kultur,’ yakni darah.
Sifat kimiawi media kultur tubuh menentukan sifat lingkungan sel di dalam diri. Kimiawi darah sebagian besar dipengaruhi oleh bahan kimia yang dipancarkan dari otak. Kimia otak menyesuaikan komposisi darah berdasarkan persepsi seseorang tentang kehidupan.
Jadi, ini berarti bahwa persepsi seseorang tentang hal tertentu, pada saat tertentu, dapat memengaruhi kimiawi otak, yang, pada gilirannya, memengaruhi lingkungan tempat sel berada dan mengontrol nasibnya. Dengan kata lain, pikiran dan persepsi anda memiliki efek langsung dan sangat signifikan pada sel.
Hal ini menggaungkan kembali dari sudut pandang yang sangat ilmiah, apa yang telah disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW pada 14 abad yang silam dan dianjurkan oleh para penyembuh intuitif dan spiritual selama bertahun-tahun. Bahwa pikiran anda dapat dan pada dasarnya berkontribusi pada penyebab dan penyembuhan apa pun yang membuat anda sakit termasuk kanker.
Selain pikiran, dua faktor lain yang memengaruhi nasib sel, menurut Dr. Lipton: racun dan trauma. Racun berasal dari makanan atau lingkungan yang buruk yang tidak cocok dengan diposisi tubuh.
Misalnya, jika sudah tahu makan daging bikin jantung huru hara, harusnya stoplah makan daging. Sementara trauma muncul dari relasi sosial yang jelek. Contohnya, doyan marah-marah, gosipin orang, dan sebagainya. Ketiga faktor tersebut telah dikaitkan dengan timbulnya kanker.
Menurut Dr. Lipton, aktivitas gen dapat berubah setiap hari jika kita gemar dan rajin membaca Al-Qur’an. Jika persepsi dalam pikiran tercermin dalam kimiawi tubuh kita, dan jika sistem saraf kita aktif selalu membaca Al-Qur’an dan menafsirkannya pada lingkungan dan kemudian mengontrol kimiawi darah, maka kita benar-benar dapat mengubah nasib sel dengan mengubah pikiran kita untuk selalu aktif membaca Al-Qur’an.
Kemudian Lipton menggambarkan bahwa dengan mengubah persepsi kita, pikiran dapat mengubah aktivitas gen dan menciptakan lebih dari tiga puluh ribu variasi produk dari setiap gen.
Dia menjelaskan lebih rinci dengan mengatakan bahwa program gen terkandung di dalam inti sel, dan seseorang dapat menulis ulang program genetik tersebut dengan mengubah kimiawi darah. Kuncinya adalah pikiran yang sehat dengan selalu aktif membaca Al-Qur’an, makanan yang baik lagi halal, dan relasi sosial yang sehat tiada energi negatif.
Jadi, sederhananya, kita perlu mengubah cara berpikir kita untuk menyembuhkan kanker. Seperti dikatakan Lipton dalam buku ini, “Fungsi pikiran adalah menciptakan koherensi antara keyakinan kita dan realitas yang kita alami,”. Artinya, pikiran kita akan menyesuaikan biologi dan perilaku tubuh agar sesuai dengan keyakinan kita.
Jika anda diberi tahu bahwa anda akan mati dalam tiga bulan dan pikiran anda mempercayainya, kemungkinan besar anda akan mati dalam tiga bulan. Itulah yang disebut efek nocebo, hasil dari pikiran negatif, kebalikan dari efek plasebo, di mana penyembuhan dimediasi oleh pikiran positif.
Mungkin buat Lipton, konsep itu disebut Epigenetik. Buat kita konsep yang dia uraikan adalah spiritualitas. Dalam hal ini, spiritualitas yang dapat mengajarkan pada diri kita dapat mendirikan shalat Fardhu, aktif membaca Al-Qur’an, dan rajin berdoa 20X sehari.
Terapi pikiran yang sehat yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh sikap hidup diri kita yang baik terhadap sesama, penghargaan terhadap lingkungan hidup, dan tidak rakus makan. Rasulullah Muhammad SAW membiasakan diri dengan berpuasa.
Rasa-rasanya semua ini ada dalam dalam kitab Al-Qur’an. Buat kita pribadi, ada pada satu kitab Al-Qur’an yang mungkin telah lama diabaikan oleh seluruh ummat Islam di zaman kini. Kitab Al-Qur’an yang kerap dianggap kuno, karena bercerita tentang kisah seorang tokoh dan ajarannya lebih dari 2000 tahun yang lalu. Rupanya studi Lipton mengembalikan kita semua atau setidaknya kita pribadi, kesitu.
Selamat membaca Al-Qur’an yang keren ini dan juga rajin mendirikan shalat Fardhu di awal waktunya.(MAH)